Latest Post

TEORI KORESPONDENSI TENTANG KEBENARAN





TEORI KORESPONDENSI TENTANG KEBENARAN 

Teori korespondensi [Correspondence Theory of Truth], yang kadang kala disebut The accordance Theory of Truth. Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya. 

a proposition (or meaning) is true if there is a fact to which it corresponds, if it expresses what is the case 
[Suatu proposisi atau pengertian adalah benar jika terdapat suatu fakta yang selaras dengan kenyataannya, atau jika ia menyatakan apa adanya]. 

"Truth is that which conforms to fact; which agrees with reality; which corresponds to the actual situation." 
[Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang beralasan dengan realitas, yang serasi (corresponds) dengan situasi actual]. 

Truth is that which to fact or agrees with actual situation. Truth is the agreement between the statement of fact and actual fact, or between the judgment and the environmental situation of which the judgment claims to be an interpretation." 
[Kebenaran ialah suatu yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi aktual. Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (Judgment) dengan situasi seputar (Enviromental situation) yang diberinya intepretasi. 

“if a judgment corresponds with the facts, it is the true; if not, it is false." 

[Jika suatu putusan sesuai dengan fakta, maka dapat dikatakan benar ; Jika tidak maka dapat dikatakan salah]. 

Teori korespondensi ini sering dianut oleh realisme/empirisme. K. Rogers, adalah seorang orang penganut realisme kritis Amerika, yang berpendapat bahwa : keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara "esensi atau arti yang kita berikan" dengan "esensi yang terdapat didalam obyeknya". 

"Epistemological realism.The view that there is an independent reality apart from minds, and we do not change it when we come to experience or to know it; sometimes called objectivism" 

[Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independence (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahami. Itulah sebabnya realisme epitemologis kadangkala disebut obyektivisme]. Dengan perkataan lain: realisme epistemologis atau obyektivisme berpegang kepada kemandirian sebuah kenyataan tidak tergantung pada yang di luarnya. 

Dalam perpustakaan Marxis dapat dibaca : 
If our sensations, perception, notions, concepts and theories corresponds to objective reality, if reflect if faithfully, we say that they are true, while true statement, judgment or theories are called the truth. 

[Jika sensasi kita, persepsi kita, pemahaman kita, konsep dan teori kita bersesuaian dengan realitas obyektif, dan jika itu semua mencerminkannya dengan cermat, maka kita katakan itu semua benar: pernyataan, putusan dan teori yang benar kita sebut kebenaran]. 

"Dialectical materialism understands truth as that knowledge of an objective/ with correctly reflect this objectives, i.e. correspond to it" 

[Materialisme dialektika memahamkan kebenaran sebagai pengetahuan tentang sesuatu obyek, yang mencerminkan obyek tersebut secara tepat, dengan perkataan lain, bersesuaian dengan obyek yang dimaksud] 

"For example, the scientific propositions that "Bodies consists of atoms", that the " Earth prior to man", that "the people are makers of history", etc. are true" 
[misalnya pengertian ilmiah bahwa "tubuh terdiri dari atom-atom"' bahwa "Bumi lebih dahulu ada dari pada manusia", bahwa "rakyat adalah pembuat sejarah", dan lain sebagainya, adalah benar]. 

In contrast to idealism, dialectical materialism maintains that truth is objective. Since truth reflects the objectively existing word, its content does not depend on man’s consciousness. Objective truth, LENIN Wrote, is the content of our knowledge, which neither on mans, nor on mankind. The content of truth is fully determined by the objective process it reflects. 

Berlawanan dengan idealisme, maka meterialisme dialektika mempertahankan bahwa kebenaran adalah obeyektif. Selama kebenaran mencerminkan dunia wujud secara obyektif, maka wujudnya itu tergantung pada kesadaran manusia. Kebenaran obyektif, tulis Lenin, adalah kandungan pengetahuan kita yang tidak tergantung, baik kepada manusia maupun kepada kemanusiaan. Kandungan kebenaran sepenuhnya ditentukan oleh proses abyektif yang tercerminkannya. 

LENIN Menulis: 

"From live contemplation to abstract thinking and from that to practice, such is the dialectical process of cognizing the truth, of cognizing objective reality. 

[Dari renungan yang hidup menuju ke pemikiran yang abstrak, dan dari situ menuju praktek, demikianlah proses dialektis tentang pengenalan atas kebenaran, atas realitas obyektif]. 

Selajutnya kaum marxist mengenal dua macam kebenaran, yaitu (a) kebenaran mutlak dan (b) kebenaran relatif] 

"Absolute truth is objective truth in its entirety, an absolutely exact reflection of reality" 

[Kebenaran mutlak ialah kebenaran yang selengkapnya obyektif, yaitu suatu pencerminan dari realitas secara pasti mutlak] 



" Relative truth is incomplete correspondence of knowledge to reality. Lenin called this truth the relatively true reflection of an object which is independent of man" 

[Kebenaran relatif adalah pengetahuan mengenai relaitas yang kesesuaianya tidak lengkap, tidak sempurna. Menurut Lenin, kebenaran relatif adalah pencerminan dari obyek yang relatif benar, yang terbatas dari manusia]. 

"Every truth is objective truth” 

[setiap kebenaran adalah kebenaran yang obyektif]. 



"Relative truth is imperfect, incomplete truth. 

[kebenaran relatif adalah kebenaran yang tidak sempurna, tidak lengkap]

BAB III 

KESIMPULAN 

Mengenai Teori Korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut : 

Kita mengenal dua hal, yaitu : pertama pernyataan dan kedua keyataan. Menurut teori ini kebenartan ialah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu sendiri. Sebagai contoh dapat dikemukakan : " Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur sekarang" ini adalah sebuah pernyataan; dan apabila kenyataannya memang Surabaya adalah Ibu Kota Provinsi Jawa Timur ", pernyataan itu benar, maka pernyataan itu adalah suatu kebenaran. Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari ARIESTOTELES, dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut : 

“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI” 

[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan]. 

 

Hakikat Teori Kebenaran dalam Bahasa




BAB I
PENDAHULUAN

Jika kita sekarang mempelajari berbagai hal berkaitan tentang ilmu pengetahuan, maka kita tentu harus ingat pula keberadaan filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan itu. Hal itu dapat diyakini kebenarannya karena filsafat melahirkan berbagai ilmu pengetahuan yang ada sampai dengan sekarang ini. Sebagai induk dari ilmu maka filsafat berusaha untuk menjawab serta memahami atau mengerti tentang makna kehidupan dan nilai-nilainya.

Pemaknaan nilai-nilai yang ada di dunia ini menggunakan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan kebenaran dan nilai-nilai. Gie (1997) menjelaskan linguistik dan dimensi linguistik dari ilmu dapat dinyatakan dengan tinjauan linguistik atau kebahasaan, kemudian orang dapat memandang ilmu sebagai bahasa buatan.

Sebagai bukti kebenaran tentang eksistensi bahasa (linguistik) yang dinyatakan dalam kajian filsafat dikemukakan Suriasumantri (2000) bahwa “Batas bahasaku adalah batas duniaku.” Hal ini dapat dimaknai bahwa tanpa kemampuan berbahasa, manusia tidak akan mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai dari generasi satu ke generasi berikutnya. Dinyatakan pula bahwa “tanpa bahasa” simpul Aldous Huxiey maka manusia tidak jauh berbeda dengan anjing atau monyet.”

Sehubungan dengan hakikat teori kebenaran dalam bahasa, penulis berupaya untuk mengimlementasikannya dalam pembelajaran. Adapun beberapa hakikat teori kebenaran dalam bahasa itu penulis tuangkan dalam beberapa bagian yaitu hakikat kebenaran, teori kebenaran koherensi dalam bahasa Indonesia, teori kebenaran korespondensi dalam bahasa Indonesia, dan teori kebenaran pragmatis dalam bahasa Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

Hakikat Kebenaran
Setiap orang menginginkan suatu kebenaran. Kebenaran menjadi sebuah kebutuhan pokok untuk meyakinkan seseorang ketika diambang sebuahkebingungan dari sebuah konsep yang masih meragukan. Lalu apa sebenarnya sebuah kebenaran itu? Secara jelas Depdikbud (1995) menyatakan bahwa kebenaran merupakan keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya atau sesuatu yang sungguh-sungguh. Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah soal kesesuaian sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Benar atau salahnya sesuatu adalah masalah sesuai atau tidaknya tantang apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Pandangan lain tentang kebenaran dinyatakan oleh Mudyahardjo (2002:49) bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara sujek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realita sebagaimana adanya. Misalnya, setiap orang mengatakan bahwa “matahari merupakan sumber energi” adalah suatu pernyataan yang benar, karena pernyataan itu dapat didukung oleh kesesuaian terhadap kenyataan.


Teori Kebenaran Koherensi dalam Bahasa Indonesia
Bila uraian kebenaran telah banyak diungkapkan pada bagian sebelumnya, maka koherensi atau tepatnya teori koherensi dalam bahasa menjadi pembahasan yang patut kita pahami. Sebuah koherensi yang diungkapkan dalam sebuah bahasa Indonesia tentu berpijak dari sebuah pernyataan atau ungkapan bahwa suatu yang dinyatakan akan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren bahkan konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Suriasumantri (2000:59) bahwa teori koherensi adalah terori yang berlandaskan pada logika deduktif yang menyatakan bahwa suatu pernyataan yang dinyatakan benar jika bersifat koheren dan konsisten. Contoh terdapat pernyataan bahwa “setiap manusia akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar. Pernyataan yang sering diungkapkan kesimpulan silogisme berikut ini dapat menjadi contoh yang lain, yaitu:

Premis Mayor : Setiap manusia akan mati
Premis Minor : Marjono seorang manusia.
Entimennya : Marjono akan mati karena dia seorang manusia.

Sebagai bagian dari ilmu semantik, medan makna dalam sebuah bahasa Indonesia juga dapat menjadi implementasi dari teori kebenaran koherensi. Secara rinci dapat dinyatakan bahwa kata dapat memiliki acuan yang sama serta memiliki simpulan yang sama. Medan makna dapat digunakan untuk mengetahui identitas suatu kata berdasarkan fitur-fitur yang membentuknya secara menyeluruh, sehingga seseorang yang mencari sebuah istilah dapat menemukan gambaran makna secara semantik dengan sempurna. Contoh: kata mati, mampus, wafat, gugur, tewas, berpulang kerahmatullah memiliki kesimpulan makna yang sama yaitu sudah hilang nyawanya atau tidak hidup lagi.

Teori Kebenaran Korespondensi dalam Bahasa Indonesia

Seiring dengan pernyataan dalam hakikat sebuah kebenaran, teori kebenaran kerespondensi ini lebih menekankan pada pernyataan yang sifatnya koheren dan konsisten. Betrend Rusell (1872-1970) menyatakan bahwa teori kebenaran korespondensi adalah suatu pernyataan yang dianggap benar jika materi pengetahuan yang terkandung di dalamnya menyatakan adanya korespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan yang dimaksud. Jika ada pernyataan bahwa ibu kota negara Indonesia adalah Jakarta, maka pernyataan itu benar adanya karena sesuai dengan objek bahwa Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia.

Mencermati penjelasan itu dapat dikatakan bahwa sebuah kebenaran korespondensi merupakan kebenaran yang sungguh-sungguh merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya karena adanya kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya.

Sebagai wujud yang nyata dalam implementasi teori kebenaran korenpondensi dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan bahwa setiap kata memiliki dua demensi yaitu bentuk kata itu sendiri serta makna dari kata yang dibentuk. Sebagai contoh kata garam yang memiliki struktur dari rangkaian fonem [g], [a], [r], [a], [m] yang maknanya senyawa kristal NaCL yang merupakan klorida dan sodium, dapat larut dalam air, dan asin rasanya (Debdikbud, 1995). Demikian halnya dengan semua kata pasti mempunyai struktur dan makna yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap kata mempunyai korespondensi dengan struktur maupun makna kata.

Teori Kebenaran Pragmatis dalam Bahasa Indonesia

Pencetus teori kebenaran pragmatis dalam bahasa adalah Charles S. Peirce (1839-1914). Pada intinya teori beranggapan bahwa kebenaran atau pernyataan dapat diukur dengan kriteria tertentu. Berdasarkan fungsinya teori pragmatis bersifat relatif, artinya teori itu dianggap benar bila belum ditemukan teori baru. Dalam teori ini pengumpulan fakta yang mendukung teori tertentu diproses dengan pembuktian secara empiris. Teori ini menyatakan bahwa sesuatu dianggap sebagai hal yang benar jika berfungsi secara praktis terhadap manusia dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: jika dalam pembelajaran bahasa terdapat teori A kemudian dikembangkan dengan teknik B sebagai peningkatan aplikasi teori kebahasaan A itu maka teori A dianggap sebagai kebenaran karena berguna dalam aplikasi kehidupan berbahasa.

Secara umum teori pragmatis ini sering diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Misalnya, guru mendapatkan kesulitan ketika siswa mengalami masalah dalam pengungkapan gagasan dalam belajar menulis. Setelah beberapa metode digunakan ternyata tidak mampu meningkatkan kemampuan menulis dengan baik. Ketika mencermati banyaknya cerita sinetron yang saat ini digemari oleh siswa, maka guru yang bersangkutan menceritakan sebagian cerita sinetron yang sangat digemari siswa untuk kemudian siswa meneruskan cerita yang dipenggal oleh guru. Hasilnya ternyata siswa dapat mengungkapkan gagasannya melalui menulis lanjutan cerita dengan kemampuan bahasanya sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi acuan sempurna yang kini dikembangkan dalam metode pembelajaran contextual teaching and learning (CTL). Karena metode pembelajaran serta teori selalu berkembang, tidak mustahil bila teori ini kemudian akan ditinggalkan oleh guru apabila di kemudian hari muncul teori baru yang lebih efektif dalam pembelajaran menulis.

BAB III
PENUTUP 

Kesimpulan
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kebenaran ilmu pengetahuan menjadi dasar ketika kita hendak mendalami suatu ilmu pengetahuan. Kebenaran menjadi pembuktian akan keyakinan seseorang karena merupakan kenyataan yang dapat dibuktikan.

Ketiga teori itu, adalah teori kebenaran koherensi, teori kebenaran korespondensi, dan teori kebenaran pragmatris dalam bahasa Indonesia. Teori ini merupakan terori-teori yang dapat dijadikan acuan dalam memulai memecahkan persoalan khususnya dalam kebahasaan.

 

Epistemologi; Pengantar Memasuki Ranah Ontologi







Epistemologi; Pengantar Memasuki Ranah Ontologi

Oleh: A. Kamil

"Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij). Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla..bla..? Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya."



"Tuhanku, para arif berkata kenalkan diriMu kepadaku, dan jahil ini berkata kenalkan diriku kepadaku."



Introduksi

Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya terhadap "kebenaran" (asy-Syai fil khârij). Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya, semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik-kulminasi peradaban dan sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan pengenalan Anda dan vice-versa.

Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Bla..bla..bla..?

Kalau kita menilik perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progressive, manusia acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya.

Ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban utuh dan komprehensif atas masalah ini. Karena uslub atau metodologi ilmu-ilmu di atas adalah bercorak empirikal. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah eksisten qua eksisten.[2] Betapa pun, sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrument yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang digunakan sebagai instrument berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard. Dengan demikian, pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti adanya. Yakni, sebelum kita merangsek memasuki kosmos filsafat – yang nota-bene menggunakan akal (an-sich) – kita harus membahas instrument dan metodologi apa yang valid untuk menyingkap tirai realitas ini. Dan ini adalah raison d'être pembahasan epistemologi. Atau sederhananya, pembahasan epistemology adalah pengantar menuju pembahasan filsafat. Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah mungkin.[3] Walhasil, pembahasan epistemology sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum membahas perkara-perkara filsafat.



Apa itu Epistemologi

Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.

Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:

1. Hakikat itu ada dan nyata;

2. Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;

3. Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;

4. Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang sejarah manusia?

Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang jauh.

Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi.

Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.



Pokok Bahasan Epistemologi

Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:

1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.

b. Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.

c. Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).

d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.

e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.

f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.

g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.

h. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.

i. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.

j. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.

2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.



Masalah-masalah Filosofis: Masa Yunani dan Masa Medieval

Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.

Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan filsafat. Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.

Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman. Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, akan tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.

Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah system keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, akan tetapi memandang iman dalam otoritas skriptual sebagai nara sumber keyakinan agama.



Masa Plato dan Aristoteles

Plato dapat dikatakan sebagai filosof pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemology ini. Filosof Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles. Ia murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia.

Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles akan lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana tertuang pada table di bawah ini.

Table komparasi epistemology Plato dan Aristoteles


Topik Pemikiran

Plato

Aristoteles


Pandangan tentang dunia

Ada 2 dunia: dunia ide & dunia sekarang (semu)

Hanya 1 dunia: Dunia nyata yang sedang dijalani


Kenyataan yang sejati

Ide-ide yang berasal dari dunia ide

Segala sesuatu yang di alam yang dapat ditangkap indra


Pandangan tentang manusia

Terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa abadi; badan fana (tidak abadi).

Jiwa terpenjara badan.

Badan dan jiwa sebagai satu kesatuan tak terpisahkan.


Asal pengetahuan

Dunia ide. Namun tertanam dalam jiwa yang ada dalam diri manusia.

Kehidupan sehari-hari dan alam dunia nyata


Cara mendapatkan pengetahuan

Mengeluarkan dari dalam diri (Anamnesis) dengan metoda bidan

Observasi dan abstraksi, diolah dengan logika






























Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filosof modern. Idealisme Plato mempengaruhi filosof-filosof Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filosof Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.



Rasio Vs Indra Persepsi

Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris (indriawi-persepsi). Filosof Francis, René Descartes (1596-1650), filosof Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filosof Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filosof Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan indriawi.

Filosof Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.

Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.

Pandangan Descartes tentang manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.

Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesignnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filosof empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.



 

Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi

Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi:
(Kasus Indonesia, 1990-2001)

Indonesia terperangah, ketika secara tiba tiba kekerasan sosial, sebagai salah satu bentuk manifestasi dari konflik sosial, terjadi secara luas hampir di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dipicu oleh krisis keuangan yang berawal sejak pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya di awal 1998, terjadi serangkaian kekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu. Kerusuhan Mei 1998 pecah beberapa hari sebelum kejatuhan Suharto. Timor Timur terpisah dari Indonesia sebagai hasil sebuah referendum yang ditandai oleh kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terbunuh dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luar biasa. Gerakan separatis di Aceh dan Papua, yang sudah ada sejak lama, mendapatkan momentum baru. Konflik komunal telah memporak-porandakan Sambas, Poso, Maluku, dan Sampit. Sementara di pulau Jawa banyak orang yang diduga sebagai dukun santet terbunuh. Lebih lanjut, kasus-kasus tawuran antar kampung, konflik politik, pertanahan dan hubungan ekonomi lainnya, serta berbagai bentuk konflik dan kekerasan sosial seperti tak henti-hentinya terjadi hampir di seantero negeri sejak berlangsungnya krisis ekonomi dan dimulainya transisi menuju demokrasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ledakan konflik dan kekerasan sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari krisis dan transisi Indonesia saat ini. Tetapi, hal itu menyisakan banyak pertanyaan. Apakah kekerasan sosial merupakan instrumen yang diperlukan untuk memicu suatu transisi? Atau apakah ia merupakan biaya sosial yang tak terelakkan dari suatu transisi? Atau bisakah suatu transisi dapat berlangsung tanpa disertai oleh adanya kekerasan sosial? Atau apakah kekerasan sosial adalah faktor yang berdiri sendiri dalam suatu proses perubahan sosial yang cepat? Lalu, peran apa yang dimainkan oleh berbagai faktor sosial-ekonomi-politik dalam ledakan gelombang kekerasan sosial yang tiba-tiba? Regim kebijakan social baru seperti apa yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa dan negara yang sakit seperti Indonesia saat ini untuk dapat melangkah keluar dari kancah konflik sosial secara lebih terarah? Semua kompleksitas pertanyaan di atas tentu tidak bisa dijawab, atau sekedar diwacanakan, dalam satu tarikan nafas. Serangkaian upaya serius dan jeli sangat dibutuhkan. Tetapi, sebelum mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan sulit di atas, ada beberapa pertanyaan dasar sederhana yang harus di jawab terlebih dahulu. Kekerasan sosial apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia? Kapan dan dimana insiden-insiden itu terjadi? Separah apa insiden-insiden tersebut dan bagaiman mengukurnya? Bagaimana dengan distribusi spasialnya? Dan bagaimana kecenderungannya dari waktu ke waktu? Sebagai langkah awal, paper ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana ini.

Krisis dan transisi Indonesia

Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia, setidaknya, terdiri dari tiga perubahan besar. Pertama adalah transisi dari suatu system politik dan pemerintahan yang otokratik menuju suatu sistem yang demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony capitalist) menuju suatu sistem ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas (rules-based market economy). Dan Ketiga adalah transisi dari sistem sosial politik dan ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Dan tidak ada pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru. Transisi Indonesia yang multidimensi ini akan lebih tepat apabila ditinjau dari kaca mata transisi sistemik (systemic transition). Transisi semacam ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu historic discontinuity. Sehingga gambaran yang lebih jelas akan didapat apabila transisi Indonesia saat ini disejajarkan dengan transisi serupa seperti yang terjadi di bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur (Mishra, 2000 dan 2001).

Transisi berlangsung di tengah krisis ekonomi terhebat yang pernah dialami Indonesia sejak merdeka. Dalam konteks ini, krisis ekonomi berperan sebagai katalisator dan pada saat yang sama berperan pula sebagai pemicu berlangsungnya suatu proses transisi. Krisis ekonomi hanyalah sebuah awal. Ia memicu krisis multidimensi yang merontokkan secara tiba-tiba tatanan yang telah dibangun Orde Baru hampir di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Rontoknya tatanan ekonomi ditandai oleh hancurnya bagun ekonomi kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) dengan bubble economy-nya. Hancurnya tatanan politik dicirikan oleh runtuhnya rezim autokratik, yang diikuti oleh meledaknya partisipasi politik massa, terbentuknya banyak partai politik dan terbukanya debat publik ditengah lemahnya pelembagaan demokrasi. Dan kehancuran tatanan sosial ditandai oleh merebaknya kekerasan sosial, tidak berdayanya hukum dan peraturan (law and order) dan hancurnya tatanan dan ikatan sosial masyarakat (social cohesion).

Kompleksitas dari proses transisi ini menjadi semakin rumit dengan program desentralisasi yang tergesagesa ditengah lemahnya kelembagaan untuk menangani isu-isu yang terkait dengan pembagian wewenang, keuangan, dan anggaran antara pusat dan daerah, dan pembagian sumberdaya antar daerah. Selanjutnya, kombinasi dari krisis dan transisi politik, ekonomi dan sosial, telah menghasilkan suatu keadaan yang tidak menentu (turbulence situation).

Kelihatannya, suatu ledakan kekerasan sosial yang hebat akan sangat potensial terjadi di tengah situasi transisi yang tidak menentu ini, dan bukannya justru meledak di saat-saat yang stabil, dimana ekonomi tumbuh dengan stabil, kesejahteraan membaik dan ketika semuanya serba “teratur.” Situasi yang tidak menentu ini setidaknya telah menyebabkan dua perkembangan baru: (1) mengecilnya kue pembangunan, sementara jumlah orang yang memperebutkannya tidak berkurang, malahan semakin banyak; dan (2) terjadinya suatu distribusi kekuasaan yang hebat (a significant distribution of power).

Kekuasaan di masa Orde Baru yang terpersonalisasi ke seseorang –atas nama Presiden Suharto– selama transisi ini telah terdistribusi ke tangan elit-elit partai politik, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), kelompok-kelompok masyarakat, parlemen, pers, masyarakat adat, maupun kepada kelompok-kelompok birokrasi yang terbelah.

Lebih jauh, desentralisasi juga telah meningkatkan tensi konflik antara pusat dan daerah, dan persaingan antar daerah. Sebagai hasil dari perkembangan-perkembanganini, krisis dan transisi telah menyebabkan perubahan posisi relatif secara cepat dari kelompok-kelompok masyarakat (changing relative position among sosial groups) di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Insiden kemiskinan memburuk, baik dari jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan (head count ratio) maupun tingkat keparahannya (poverty severity). Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan porsi pekerja di sektor informal terhadap total pekerja meningkat tajam.8 Sementara di sisi lain, perubahan konstelasi politik telah menyebabkan banyak orang kehilangan pengaruh dan akses politik, sementara di sisi lain banyak pula muka-muka baru yang tiba-tiba berkuasa. Lebih jauh, orang-orang yang dulu dihormati dan dipuja, sekarang menjadi kelompok yang dikritisi dengan sangat tajam. Pendek kata, semuanya berubah.

Transisi dan kekerasan sosial

Bagaimana kaitan antara transisi dan ledakan kekerasan sosial? Agaknya, kondisi sosial, ekonomi dan politik yang rapuh seperti di uraikan merupakan lahan yang subur untuk meledaknya kekerasan sosial. Ide ini didukung oleh studi-studi berikut.

Snyder (2000) mengingatkan bahwa tahap-tahap awal demokratisasi suatu negara akan sangat rentan terhadap pecahnya konflik komunal.

Selengkapnya, ia menuliskan kesimpulan sebagai berikut:

“The developing countries’ recent experiences with nationalist conflict run parallel to those of the historical European and the contemporary post-communist states. Democratization increases the risk of nationalist and ethnic conflict in the developing world, but the strength and outcome of this propensity varies in different circumstances. Nationalist and ethnic conflicts are more likely during the initial stages of democratizations than in transitions to full consolidations of democracy. More over, trouble is more likely when elites are highly threatened by democratic change (as in Burundi, the former Yugoslavia, and the historical Germany) than when elites are

guaranteed a satisfactory position in the new order (as in historical Britain, and in much of South Africa and East and Central Europe today). Uncontrolled conflict is more likely when mass participation increases before civic institutions have been extensively developed, as the contrast between Burundi and South Africa suggests. Similarly, ethnic conflict is more likely when the civic institutions of the central state break down at a time of rising popular demands, as in India in the late 1980s and 1990s. Finally, ethnic conflict is more likely when the channels of mobilizing mass groups in to politics are ethnically exclusive….”

Sementara Hegre et. al. (2001) menyimpulkan bahwa memuncaknya ledakan kekerasan domestik diasosiasikan sangat erat dengan berlangsungnya suatu perubahan politik.

Dari sebuah studi antar negara yang mencakup 152 negara selama periode 1816-1992 itu, mereka juga menemukan hubungan seperti U terbalik yang menggambarkan kaitan antara antara kekerasan sosial dan tingkat demokrasi. Mereka menarik kesimpulan sebagai berikut: “Semidemocracies are more likely to experience civil war than either democracies or autocracies”.

Tetapi harus diingat bahwa tidak semua transisi disertai kekerasan, karena banyak pula catatan tentang proses transisi demokrasi yang berlangsung dengan damai. Huntington (1991) mengakui bahwa semua perubahan-perubahan politik yang besar hampir selalu melibatkan penggunan kekerasan, tetapi ia juga memberikan contoh dimana transisi berlangsung dengan damai. Cekoslovakia, sebuah Negara satelit Uni Soviet, terbelah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia tanpa adanya pertumpahan darah. Demikian pula dengan transisi di Polandia, Hongaria dan Jerman Timur.

Mencermati sejarah Indonesia, episode-episode kekerasan sosial kelihatannya selalu terkait dengan perubahan-perubahan sejarah tertentu. Sebagai contoh setelah merdeka, serangkaian pemberontakan daerah pecah di tahun 50-an seiring dengan kegagalan demokrasi konsitusional. Demikian pula dengan ledakan kekerasan social yang hebat di tahun 1965-66 yang menandai pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Mengikuti kecenderungan ini, kita bisa mengaitkan gelombang kekerasan sosial sejak tahun 1998 dengan transisi sistemik Indonesia saat ini.

Melemahnya negara

Sebenarnya transisi Indonesia saat ini masih merupakan tahap awal menuju demokrasi. Walaupun sebelumnya di awal tahun 1950-an, Indonesia telah mengalami suatu periode demokrasi parlementer yang ditandai oleh pemilu pertama yang bebas di tahun 1955. Namun Sukarno membunuhnya dengan memperkenalkan Demokrasi Terpimpin di akhir tahun 1950-an. Demokrasi tidak kunjung kembali di bumi Indonesia ketika Suharto tampil sebagai diktator berikutnya di tahun 1966. Indonesia dengan transisi menuju demokrasi saat ini bisa disebut sebagai contoh mutakhir dari negara-negara yang termasuk dalam ‘gelombang ketiga demokratisasi’ (the third wave democratization). Antara tahun 1966-1980 adalah masa dimana Suharto mengkonsolidasikan kekuatannya. Dalam proses itu, sekitar lima ratus sampai enam ratus ribu orang yang dicap sebagai komunis atau anteknya dibunuh dan opisisi politik secara efektif dibungkam. Bagimanapun kecilnya oposisi itu, regime Suharto dengan lihai mengkooptasi mereka dibawah payung konsesus baru yang disebut Pancasila.

Hal ini telah menyempitkan ruang politik dimana pluralitas pendapat dapat berkembang

subur dan civil society dapat berkembang. Berbagai rintangan dan tantangan berhasil dilalui. Peristiwa Malari tahun 1974 tidak sampai melemahkan kekuasaan Suharto; gerakan mahasiswa tahun 1978 dibungkam dengan normalisasi kampus; lawan-lawan politiknya diberangus, dan sistem politik “diatur” sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasannya.

Periode 1980-1990 adalah dimana kekuasaan Suharto mencapai puncaknya, walau diinterupsi oleh peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 ketika Suharto memaksakan asas tunggal Pancasila. Kekuasaan rezim Suharto mulai melemah sejak awal 1990-an ketika dukungan militer mulai berkurangnya. Kemudian, Suharto menarik kelompok-kelompok Islam dalam perpolitikan Indonesia untuk mengantisipasi melemahnya dukungan militer tersebut, khususnya sejak ia merestui berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di awal 1990-an.

Perkembangan lainnya adalah tumbuhnya konglomerat sebagai kroni-kroni yang memperkuat basis dukungan ekonomi regim. Tetapi, aliansi-aliasi politik dan dukungan ekonomi ini tidak mampu menyelamatkan regim ini dari kehancuran ketika krisis ekonomi terjadi di tahun 1997-1998 Suharto terpaksa menyerahkan kekuasaan pada B.J. Habibie yang bertindak sebagai presiden di masa transisi dan sukses menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen.

Di tahun 1999, Abdurrahman Wahid menjadi presiden yang pertama kali dipilih secara demokratis. Akan tetapi, proses melemahnya negara (the weakening of the state) yang sudah dimulai sejak awal 1990, masih terus berlanjut.

Sejak tahun 1998, Indonesia menjadi negara dengan pemerintahan-pemerintahan yang tidak efektif. Ia juga harus menerima kenyataan lepasnya Timor Timur dan menghangatnya gerakan separatis di beberapa propinsi, dan merebaknya konflik sosial.



Kesimpulan

Dari adanya fakta objektif di atas yakni terjadinya serangkaian kekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Hal ini tidak terlepas dari krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia, dan menjadi pemicu timbulnya kekerasan secara massif. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu.

Kerusuhan Mei 1998 pecah beberapa hari sebelum kejatuhan Suharto. Timor Timur terpisah dari Indonesia sebagai hasil sebuah referendum yang ditandai oleh kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terbunuh dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luar biasa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ledakan konflik dan kekerasan sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari krisis dan transisi Indonesia saat ini.

Berangkat dari fakta tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa kekerasan yang melanda sebagian besar daerah-daerah yang ada di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari krisis berkepanjangan yang terjadi. Dinamika tersebut merupakan sebuah desakan dari arus bawah (grass root) yang menuntut segera berakhirnya krisis ekonomi yang menekan rakyat serta tuntutan akan adanya perubahan di tubuh pemerintahan yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat.

 

Teori struktural fungsional




Asumsi Dasar
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah
Visi substantif mengenai tindakan sosial dan
Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

Perkembangan Teori Struktural Fungsional

Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya, Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan. Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar. Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya, teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric, tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya. Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan kompleks yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisa yang mencakup persoalan dunia tanpa terganggu oleh detail empiris.

Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif, chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut terhadap seorang aktor.

Karya Parson dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada tahun 1960, studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson akan perubahan sosial dalam bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system, generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:
Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat, gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku terkadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural fungsional menjadi bertentangan.
Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional yang ada didalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak diantara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris, merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan, meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana. Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu , para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian, karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas. Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut. Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis, menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana ada keteraturan maka harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak pada status didalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor. Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton, anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.
 

Pengantar Politik Islam




Pengantar Politik Islam Posted by: hendra on Saturday, May 03, 2003 - 09:30

Hudzaifah Trisakti - Islam pada dasarnya adalah Siyasatullah fil Ardh. Maksudnya, dengan Islam inilah Allah mengatur semesta alam, yang didelegasikan kepada manusia. Islam itu secara substantif bersifat politis. Konteks pemberian amanah kepada manusia yang dimaksud di atas adalah Istikhlaf sebagai konsep politik. Istikhlaf berarti "menjadikan khalifah untuk mewakili dan melaksanakan tugas yang diwakilkan kepadanya."

Untuk lebih memahaminya, perlu kita ingat kembali bahwa Allah memberikan manusia dua amanah:

1. Ubudiyah, yaitu untuk beribadah, penghambaan kepada Allah.
2. Amanah Kekhalifahan, hal ini lebih dekat kepada otoritas untuk mengendalikan kehidupan (di atas bumi).

Allah SWT berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, ..." (QS. An Nur: 55)

Dengan demikian, Islam secara substantif adalah siyasah, yaitu menghendaki agar ummat menjalankan kepemimpinan politik.

Salah satu tujuan Islam adalah bagaimana agar bisa menerapkan kehidupan secara Islami dan agar sampai tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Untuk itu perlu dilakukan suatu tindakan untuk merubah situasi saat yang masih jauh dari harapan ini agar mencapai tujuan di atas. Ada dua pendekatan dalam agenda perubahan tersebut (secara berurut):

1. Pendekatan secara kultural. Tersirat dalam firman Allah SWT pada Surat Al Jumuah ayat 2, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."

2. Pendekatan secara struktural. Pendekatan inilah yang lebih bersifat siyasi. Jadi, ketika telah terbentuk masyarakat yang Islami secara kultural, maka dibutuhkanlah pemerintahan yang Islami. Contohnya dalam peristiwa Piagam Madinah. Ketika itu masyarakat Madinah sudah terkondisikan sebagai masyarakat yang Islami secara kultural.

Kedua pendekatan di atas tidak dapat dipilah-pilahkan satu sama lain. Tidak ada dikotomi antara kedua-duanya. Kedua hal di atas hanyalah terkait pada tahapan perubahan saja. Jadi, sebenarnya tidak ada istilah Islam kultural, dan Islam Politik. Islam itu adalah menyeluruh.

Dalam sejarah, Usman Bin Affan pernah berkata kurang lebih, "Apabila ada suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan Al Qur�an, maka (selesaikan) dengan pedang." Bisa kita ambil ibrohnya, yaitu apabila sulit diselesaikan secara kultural, maka gunakanlah struktural.

Yang perlu kita jadikan pegangan di sini adalah bahwa eksistensi Islam sebagai sebuah kekuatan akan timbul ketika Islam tampil secara politis. Karena kitalah ummat terbaik, sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat, "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110).

Di dalam sejarah, ketika terjadi peristiwa keruntuhan Kekhalifahan Islam, ada upaya-upaya untuk meruntuhkan Islam secara politis dan juga secara kultural. Salah satu contoh upaya meruntuhkan Islam secara politis adalah dengan cara dihapuskannya lembaga kekhalifahan pada waktu itu oleh para musuh-musuh Islam. Sedangkan contoh upaya meruntuhkan Islam secara kultural adalah seperti digantinya adzan di sana dengan bahasa Turki, pemakaian hijab untuk muslimah dihambat dan diganti dengan pakaian ala Barat, masjid-masjid serta madrasah ditutup, dan sebagainya.

Dan kini sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh para ulama Islam untuk mengembalikan konsepsi Islam secara utuh (kultural dan politik). Sudah banyak buku-buku yang membahas mengenai hal ini, salah satunya adalah Siyasa Syar�iah karya Ibnu Taimiyah (tentang konsepsi politik dalam Islam). Dan saat ini telah muncul berbagai harokah (pergerakan) Islamiyah yang meneruskan pada harokah-harokah sebelumnya yang mengacu pada Islam yang menyeluruh. Tokoh-tokoh yang muncul antara lain dalah Fahmi Huwaidy dan Yusuf Qardhawi. Mereka ingin membagun kembali wa�yu siyasi yang benar. Karena salah satu penyebab mundurnya Islam adalah salahnya pemahaman ummat terhadap politik. Contoh pemahaman yang salah misalnya bahwa politik itu kotor, Islam tidak boleh berpolitik, dan lain-lain. Kita bisa lihat contoh riil di Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam tetapi sebagian besar muslimnya masih menyalurkan aspirasi mereka ke partai politik sekuler.

Upaya-upaya yang perlu kita lakukan saat ini antara lain adalah:

1. Upayakan agar kita bisa mengasung tema-tema Islam dengan wacana-wacana kontemporer / barat (misalnya : HAM, demokrasi, trias politika). Terkait dalam hal ini sempat timbul wacana: HAM dalam Islam, demokrasi dalam koridor Islam, dll. Namun hal ini masih pro dan kontra. Ada golongan yang pro dan ada yang kontra.

2. Upayakan agar mereka (ikhwah yang ada di parlemen) bisa berjuang untuk mendapatkan akses-akses politik, untuk bisa melakukan perbaikan sistem politik (islah siyasi)

Saat ini belum ada model umum sistem politik Islam. Tapi di beberapa negara, sudah ada partai politik yang berangkat dari harokah Islamiyah, termasuk Indonesia. (hdn, 3/5/2003)

 

Pengantar Ilmu Politik



Mata Kuliah yang disajikan oleh Penulis, mengasisteni Dr. Fisher Zulkarnaen, M.Sc. Berisi ringkasan materi dan informasi nilai yang diperoleh mahasiswa.

Thursday, March 30, 2006

KEWENANGAN DAN LEGITIMASI

Materi Perkuliahan Pengantar Ilmu Politik

tanggal 29 Maret 2006

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

KEWENANGAN

Definisi

Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi

Kewenangan adalah hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik

Prinsip moral – menentukan siapa yang berhak memerintah

- mengatur cara dan prosedur melaksanakan wewenang

Sebuah bangsa atau negara mempunyai tujuan

Kegiatan untuk mencapai tujuan disebut tugas

Hak moral untuk melakukan kegiatan mencapai tujuan disebut kewenangan

Tugas dan kewenangan untuk mencapai tujuan masyarakat atau negara disebut fungsi

Sumber kewenangan

1. Tradisi – keluarga atau darah biru

2. Kekuatan sakral seperti Tuhan, Dewa dan wahyu seperti kerajaan

3. Kualitas pribadi seperti atlit, artis

4. Peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat menjadi pemimpin

5. Instrumental yaitu kekayaan dan keahlian iptek

Tipe kewenangan

1. Kewenangan prosedural yaitu berasal dari peraturan perundang-undangan

2. Kewenangan substansial yaitu berasal dari tradisi, kekuatan sakral, kualitas pribadi dan instrumental

Setiap masyarakat pasti memakai kedua tipe kewenangan ini hanya yang satu dijadikan sebagai yang utama dan yang lain sebagai pelengkap

Peralihan kewenangan

a. Turun temurun – keturunan atau keluarga

b. Pemilihan – langsung atau perwakilan

c. Paksaan – revolusi, kudeta atau ancaman kekerasan.

Sikap terhadap kewenangan

1) Menerima

2) Mempertanyakan (skeptis)

3) Menolak

4) Kombinasi

LEGITIMASI

Definisi

Pengakuan dan penerimaan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik.

Persamaan antara kekuasaan, kewenangan dan legitimasi karena ketiganya berkaitan dengan hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin atau masyarakat.

Perbedaannya kekuasaan adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana kebijakan politik, sedangkan kewenangan adalah hak moral untuk membuat dan melaksanakan keputusan politik (bersifat top down), adapun legitimasi adalah pengakuan dan penerimaan kepada pemimpin (bersifat bottom up)

Objek legitimasi

1. Masyarakat politik - krisis identitas

2. Hukum - krisis konstitusi

3. lembaga politik - krisis kelembagaan

4. pemimpin politik - krisis kepemimpinan

5. kebijakan - krisis kebijakan

krisis ini terjadi secara berurutan ketika sudah mencapai krisis kebijakan maka sebenarnya sudah terlewati krisis identitas, krisis konstitusi, krisis kelembagaan dan krisis kepemimpinan. Maka bila semuanya sudah mengalami krisis disebutlah krisis legitimasi.

Kadar legitimasi
pra legitimasi, ada dalam pemerintahan yang baru terbentuk yang meyakini memiliki kewenangan tapi sebagian kelompok masyarakat belum mengakuinya
berlegitimasi, yaitu ketika pemerintah bisa meyakinkan masyarakat dan masyarakat menerima dan mengakuinya.
Tak berlegitimasi, ketika pemimpin atau pemerintah gagal mendapat pengakuan dari masyarakat tapi pemimpin tersebut menolak untuk mengundurkan diri, akhirnya muncul tak berlegitimasi. Untuk mempertahankan kewenangannya biasanya digunakan cara-cara kekerasan.
Pasca legitimasi, yaitu ketika dasar legitimasi sudah berubah.

Cara mendapat legitimasi

1. Simbolis, yaitu memanipulasi kecenderungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan dilakukan secara ritualistik seperti upacara kenegaraan, parade tentara atau pemberian penghargaan.

2. materiil/instumental yaitu menjanjikan dan memberikan kebutuhan dasar masyarakat (basic needs) seperti sembako, pendidikan, kesehatan dll.

3. pemilu untuk memilih orang atau referendum untuk menentukan kebijakan umum.

Tipe legitimasi
Tradisional – tradisi yang dipelihara dan dilembagakan contoh kerajaan
ideologi – penafsir dan pelaksana ideologi, untuk mendapat dan mempertahankan legitimasi bagi kewenangannya juga menyingkirkan pihak yang membangkan terhadap kewenangannya.
kualitas pribadi – kharisma, penampilan pribadi, atau prestasi
prosedural – peraturan perundang-undangan
instrumental – menjanjikan dan menjamin kesejahteraan materiil.

Pemimpin yang mendapatkan legitimasi berdasarkan prinsip tradisional, ideologi dan kualitas pribadi menggunakan metode simbolis. Sedangkan pemimpin hasil dari prinsip prosedural dan instrumental menggunakan metode prosedural dan metode intrumental.

Manfaat legitimasi
menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial
mengatasi masalah lebih cepat
mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik
memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan

Krisis legitimasi
peralihan prinsip kewenangan
persaingan yang tajam dan tidak sehat
pemerintah tidak memenuhi janjinya
sosialisasi kewenangan berubah

timbullah kekecewaan dan keresahan yang menimbulkan krisis legitimasi.

posted by Uwes Fatoni at 7:13 AM 0 comments

KEKUASAAN DAN PENGARUH POLITIK

Materi Perkuliahan Pengantar Ilmu Politik

tanggal 22 Maret 2006

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

Kekuasaan adalah gejala yang selalu ada dalam proses politik

Politik tanpa kekuasaan bagaikan agama tanpa moral karena begitu berkaitannya antara keduanya.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan kekuasaan

- Influence atau pengaruh, yaitu bagimana seseorang mampu mempengaruhi agar orang lain berubah secara sukarela.

- Persuasi yaitu cara meyakinkan orang dengan memberikan argumentasi

- Manipulasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain namun yang dipengaurhi tidak menyadari

- Coersion adalah ancaman atau paksaan agar orang lain sesuai dengan kehendak yang punya kekuasaan.

- Force yaitu tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan. Ini biasanya dilengkapi dengan sejata, sehingga orang lain mengalami ketakutan.

Jadi kekuasaan itu apa?

Kekuasaan adalah kemampuan menggunakan sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga menguntungkan dirinya, kelompoknya atau masyarakat secara umum.

Unsur kekuasaan terdiri dari ;
Tujuan
Cara
Hasil

Oleh karena agar kekuasaan tidak disalahartikan maka perlu difahami makna kekuasaan, yaitu :

1. Kekuasaan adalah hubungan antara manusia

2. Pemegang kekuasaan punya kemampuan mempengaruhi orang lain

3. Pemegang kekuasaaan bisa individu, kelompok, organisasi atau pemerintah

4. Sasaran kekuasaan dapat individu, kelompok, organisasi atau pemerintah

5. Pihak yang mempunyai sumber kekuasaan belum tentu punya kekuasaan, bergantung pada kemampuannya untuk menggunakan sumber kekuasaan itu.

6. Penggunaan sumber kekuasaan dapat dengan paksaan, konsensus atau kombinasi dari keduanaya.

7. Kekuasaan bisa memiliki tujuan yang baik atau juga buruk

8. Berkaitan pula dengan distribusi kekuasaan

9. Kekuasaan digunakan untuk masyarakat umum

10. Sumber pengaruh digunakan mempengaruhi proses politik

Jadi kekuasaan bukan hanya paksaan atau kekerasan atau manipulasi tetapi bisa juga konsensus dan kerelaan

Kekuasaan harus dilihat dari dimensi yang saling melengkapinya, yaitu :

a. Potensial – aktual artinya sumber kekuasaan bila belum digunakan maka masih bersifat potensial bila sudah digunakan berarti sudah aktual.

b. Positif – negatif maksudnya kekuasaan apakah untuk mencapai tujuan tertentu (positif) atau untuk mencegah pihak lain (negatif)

c. Konsensus – paksaan kekuasaan bisa berupa kesadaran dan persetujuan (konsensus) bisa juga dengan ketakutan (paksaan) seperti ketakuatan secara fisik, ekonomi dan psikologis.

d. Jabatan – pribadi, kekuasaan di masyarakat modern adalah kekuasaan karena jabatan sedangkan, bila kekuasaan pribadi itu karena kualitas pribadi seseorang.

e. Implisit – eksplisit kekuasaan bisa secara kasat mata dirasakan atau tidak dirasakan

f. Langsung – tidak langsung, maksudnya seberapa besar efektivitas kekuasaan.

Jadi kekuasaan biasanya berkaitan dengan ;

- Bagaimana dilaksanakan

- Bagaimana didistribusikan

- Mengapa ada yang punya kekuasaan lebih dari yang lain

Sumber kekuasaan terdiri dari ;

1. Sarana paksaan fisik seperti senjata, teknologi dll

2. kekayaan seperti uang, tanah, bankir, pengusaha dll

3. Normatif seperti pemimpin agama, kepala suku atau pemerintah yang diakui.

4. Popularitas pribadi, seperti bintang film, pemain sepakbola.

5. jabatan keahlian seperti pengetahuan, teknologi, keterampilan.

6. massa yang terorganisir seperti organisasi buruh, petani, guru dll.

7. informasi seperti pers yang punya kemampuan membentuk opini publik.

Sumber kekuasaan juga harus dilengkapi dengan
waktu dan keterampilan
minat dan perhatian

Empat hal ini menjadi penunjang seseorang yang punya sumber kekuasaan menjadi penguasa. Karena kekuasaan cenderung berkembang biak

Sumber kekuasaan dapat digunakan untuk dua hal :

a. Non politik seperti untuk usaha, berbelanja, memberi bantuan dll.

b. Mempegaruhi proses politik dengan syarat :

- Kuat motivasi untuk mencapai tujuan

- Mempunyai harapan untuk berhasil

- Punya persepsi mengenai biaya dan resiko

- Punya pengetahuan tentang cara mencapainya.

Hasil penggunaan sumber kekuasaan bisa dilihat dari :

1- Jumlah individu yang dikendalikan

2- Bidang kehidupan yang dikendalikan

3- Kedalaman pengaruh kekuasaan

Kekuasaan harus didistribusikan dengan cara ;

a- Model elit memerintah

b- Model pluralis

c- Model populis

posted by Uwes Fatoni at 7:11 AM 0 comments

SEJARAH DAN TEORI ILMU POLITIK

Materi Perkuliahan Pengantar Ilmu Politik

Tanggal 15 Maret 2006

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

Mengkaji tentang sejarah ilmu politik bisa dilihat dari dua pandangan yaitu pembahasan secara luas atau secara sempit. Secara luas berarti ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu berupa pembahasan dalam buku-buku tertentu yang telah dikarang masa lampau, sedangkan secara sempit berarti ilmu politik dilihat dari aspek sistematisasinya sebagai ilmu dan pengakuannya dari aspek akademis.

Sejarah secara luas

Ilmu politik telah ada sejak zaman dahulu, ini bisa dilihat dari karya-karya berikut;

a. Yunani tahun 450 SM terdapat buku karya Herodatus, Plato dan Aristoteles.

b. India tahun 500 SM terdapat kitab Dharmasastra dan arthasastra.

c. Cina tahun 500 SM terdapat tokoh Confucius dan Kung Fu Tzu

d. Arab abad 11 M terdapat karya al-Marwardi berjudul al-Ahkam as-Sulthaniyyah

e. Indonesia abad 13 M terdapat kitab Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi.

Sejarah secara sempit

- Abad 18 dan 19 di Jerman, Austria dan Prancis telah muncul pembahasan tentang politik namun masih kental dipengaruhi hukum dan negara.

- Di Inggris Ilmu politik dipengaruhi oleh filsafat moral dan sejarah

- Di Paris Prancis tahun 1870 lahir Ecole libredes Scienies

- Di Inggris tahun 1895 muncul lembaga London School of Economic and Political Science

- Di AS tahun 1858 diangkat Francis Lieber sebagai guru besar Sejarah dan Ilmu politik di columbia College.

- Masih di AS tahun 1904 lahir American Political Science Assosiation (APSA)

- Unesco lembaga dibasah PBB tahun 1948 melahirkan buku Contemporary Political Science

Dalam Buku Contemporary Political Science ini terdapat 4 bidang ilmu politik, yaitu:

1. Teori Politik

2. Lembaga Politik (Undang-Undang, pemerintah)

3. Partai

4. Hubungan Internasional (politik internasional, organisasi, hukum)

TEORI ILMU POLITIK

Teori politik adalah generalisasi dari phenomena-phenomena politik. Teori politik ini terdiri dari :

- Tujuan politik

- Cara mencapai tujuan politik tersebut

- Kemungkinan dan kebutuhan untuk cara tersebut

- Kewajiban dalam mencapai kebutuhan tersebut

Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :

1. Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan politik sistematis.

2. Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.

Menurut Harold Laswell terdapat 8 nilai yang dikejar dalam politik, yaitu ;
Kekuasaan
Pendidikan
Kekayaan
Kesehatan
Keterampilan
Kasih sayang
Kejujuran/keadilan
Keseganan

Adapun konsep-konsep dalam ilmu politik senantiasa berkutat dalam masalah:

a. Kekuasaan – sumber kekuasaan – pengaruh – pembuat dan pelaksanan kebijakan

b. Kewenangan – kekuasaan berdasarkan legitimasi

c. Konflik dan konsensus

d. Pengambilan keputusan dan cara mendistribusikan kekuasaan

Ilmu politik tidak berdiri sendiri namun memiiki kaitan dengan ilmu-ilmu lainnya seperti sejarah, filsafat, hukum (tiga ilmu penting yang mempengaruhi politik), sosiologi, antrophologi, ekonomi, geographi dan psikologi sosial.

posted by Uwes Fatoni at 7:04 AM 0 comments

Wednesday, March 08, 2006

Materi Perkuliahan tanggal 8 Maret 2006

Oleh Uwes Fatoni, M.Ag

Definisi

Pengantar Ilmu Politik

Ilmu Politik adalah ilmu yang mengkaji tentang politik

Terdapat 5 pandangan tentang politik :

1. Klasik

Politik dalam pandangan klasik dikemukakan oleh Arsitoteles, adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan bersama atau kepentingan umum

Kebaikan bersama ini bisa berupa

- Nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kesejahteraan, dll

- Keinginan orang banyak atau keinginan golongan mayoritas

Pandangan politik klasik ini terlalu bersifat filosofis sehingga tidak membumi, tidak melihat realitas.

2. Kelembagaan

Pandangan politik kelembagaan menurut Weber berarti politik berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Negara adalah komuntas manusia yang sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu.

3. Kekuasaan

Pandangan ini dikemukakan oleh Robson, menurutnya politik adalah usaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.

Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuiai dengan kehendak yang mempengaruhi.

Kelemahan pandangan ini tidak membedakan aspek politik dengan aspek lain, seperti tokoh agama yang punya pengaruh tidak berarti dia sedang berpolitik.

Selain itu dalam politik terdapat konsep lain selain kekuasaan seperti kewenangan, legitimasi, konflik, dll.

4. Fungsionalisme

Politik dalam pandangan ini berarti merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum.

David Easton “The Authoritative allocation of values for a society”

Artinya alokasi nilai-nilai berdasarkan kewenangan mengikat suatu masyarakat.

Harold Lasswell “Who gets what, when, how”

Siapa mendapatkan apa kapan dan bagaimana

Siapa bisa orang, lembaga, kelompok, atau bangsa

Apa berati nilai, bisa abstrak seperti keadilan dll, bisa juga konkrit seperti kedudukan, kekayaan dll.

When ukuran orang yang mendapatkan kekuasaan pada waktu tertentu

How cara untuk mendapatkan kekuasaan seperti persuasif atau koersif.

Kelemahan pandangan ini menganggap pemerintah sebagai wasit kepentingan masyarakat, padahal pemerintah sendiri memiliki kepentingan tersendiri.

5. Konflik

Dalam mendapatkan kekuasaan selalu terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan bahkan pertentangan maka lahirlah konflik.

Pandangan ini terlalu menekankan aspek konflik padahal dalam politik ada juga konsensus, kerjasama maupun integrasi.

Jadi politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yagn tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

Ilmu politik muncul sejak zaman Yunani dengan adanya polis (negara kota)

Menjadi ilmu yang mapan sejak abad ke-18

Di indonesia juga ada buku tentang ilmu politik seperti kitab negara kertagama dan babad tanah jawi.

Pendekatan dalam ilmu politik
Pendekatan tingkah laku berhubungan dengan fakta, empiris dll.
pendekatan tradisional berhubungan dengan nilai, filsafat.

Ilmu politik berkaitan dengan

a. Negara

b. Kekuatan

c. Pengambilan keputusan (membuat pilihan diantara alternatif)

d. Kebijakan (keputusan yang memiliki tujuan dan cara mencapainya)

e. Pembagian atau alokasi sumber

posted by Uwes Fatoni at 8:00 AM 2 comments

Saturday, February 25, 2006

SILABUS MATA KULIAH



PENGANTAR ILMU POLITIK





Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Politik

Bobot : 2 (dua) SKS

Jurusan : se-Fakultas Dakwah UIN SGD Bandung

Deskripsi :

Politik memainkan peranan dan pengaruh yang sangat besar dalam hidup dan kehidupan manusia. Tidak berlebihan bila ada pendapat yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar kehidupan manusia ditentukan dan diatur oleh politik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari eksistensi manusia sebagai zoon politicon. Sebagai suatu ilmu, politik tentu saja memiliki konsep, teori maupun metodologi tersendiri sebagaimana lazimnya ilmu-ilmu yang lain. Berdasarkan hal tersebut, mata kuliah ini disajikan sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana politik yang sebenarnya. Secara spesifik, dalam pengenalan terhadap mata kuliah ini akan dikaji mengenai teori, konsep maupun analisis yang bersifat kritis terhadap 5 (lima) unsur pokok politik, yaitu: negara, kekuasaan, kebijakan, authority of delegation, dan nilai-nilai politik.

Tujuan :
Memberikan wawasan, pengetahuan dan pemahaman kepada mahasiswa tentang politik baik sebagai suatu ilmu, sistem maupun proses kegiatan.
2. Memberikan pemahaman yang komprehensif kepada mahasiswa agar dapat berpikir kritis, partisipasif dan responsif terhadap berbagai persoalan perpolitikan yang terjadi di Indonesia.

Kompetensi :
Mampu berpikir kritis terhadap persoalan-persoalan politik yang menyangkut aspek-aspek kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Memiliki kepekaan sosial terhadap situasi dan kondisi yang dialami masyarakat yang disebabkan oleh perubahan kebiajakan politik.
Keterampilan dalam mengelola dan menyelesaikan konflik yang dilandasi dengan nilai-nilai demokratis dan etis.
Mampu berpartisipasi secara aktif dan proaktif terhadap berbagai persoalan yang menyangkut publk yang disebabkan oleh kebijakan politik.
Ikut serta dalam menciptakan dan mengembangkan kultur demokratis.

Indikator Kompetensi :
Mahasiswa dapat menjelaskan arti dan makna politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memahami pengaruh kekuasaan politik pada kelembagaan-kelembagaan politik yang ada.
Dapat menjelaskan makna kewenangan dan legitimasi dalam proses politik di Indonesia.
Mampu mengkritisi kebijakan-kebijakan publik yang diakibatkan oleh pengaruh dan proses politik.
Mampu merumuskan proses penyelesaian konflik secara damai, etis dan demokratis.
Mampu merumuskan nilai-nilai politik yang demokratis dan berkeadaban.
Dapat menjelaskan prinsip-prinsip partisipasi yang lebih bertanggung jawab dalam proses politik.
Mampu menganalisis peluang dan tantangan pembangunan di bidang politik

Pokok bahasan :
Pengertian politik
Sejarah perkembangan ilmu politik
Konsep dan teori ilmu politik
Kekuasaan dan pengaruh politik
Kewenangan dan legitimasi struktur politik
Kepemimpinan politik
Keputusan politik dan kebijakan umum
Konflik dan proses politik
Perilaku dan partisipasi politik
Pendidikan politik
Nilai-nilai politik
Analisa politik

Referensi :
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1992
Affan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1988
Ipong S. Azhar, Benarkah DPR Kita Mandul, Biograf Publishing, Yogyakarta, 1997
Robert A. Dahl, Analisa Politik Modern, Dewaruci Press, Jakarta, 1980
Inu Kencana Syafe’I, Pengantar Ilmu Politik, Remaja Rosda Karya, bandung, 1998
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blogspot Tutorial - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger