Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi

Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi:
(Kasus Indonesia, 1990-2001)

Indonesia terperangah, ketika secara tiba tiba kekerasan sosial, sebagai salah satu bentuk manifestasi dari konflik sosial, terjadi secara luas hampir di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dipicu oleh krisis keuangan yang berawal sejak pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya di awal 1998, terjadi serangkaian kekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu. Kerusuhan Mei 1998 pecah beberapa hari sebelum kejatuhan Suharto. Timor Timur terpisah dari Indonesia sebagai hasil sebuah referendum yang ditandai oleh kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terbunuh dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luar biasa. Gerakan separatis di Aceh dan Papua, yang sudah ada sejak lama, mendapatkan momentum baru. Konflik komunal telah memporak-porandakan Sambas, Poso, Maluku, dan Sampit. Sementara di pulau Jawa banyak orang yang diduga sebagai dukun santet terbunuh. Lebih lanjut, kasus-kasus tawuran antar kampung, konflik politik, pertanahan dan hubungan ekonomi lainnya, serta berbagai bentuk konflik dan kekerasan sosial seperti tak henti-hentinya terjadi hampir di seantero negeri sejak berlangsungnya krisis ekonomi dan dimulainya transisi menuju demokrasi. Tidak bisa dipungkiri bahwa ledakan konflik dan kekerasan sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari krisis dan transisi Indonesia saat ini. Tetapi, hal itu menyisakan banyak pertanyaan. Apakah kekerasan sosial merupakan instrumen yang diperlukan untuk memicu suatu transisi? Atau apakah ia merupakan biaya sosial yang tak terelakkan dari suatu transisi? Atau bisakah suatu transisi dapat berlangsung tanpa disertai oleh adanya kekerasan sosial? Atau apakah kekerasan sosial adalah faktor yang berdiri sendiri dalam suatu proses perubahan sosial yang cepat? Lalu, peran apa yang dimainkan oleh berbagai faktor sosial-ekonomi-politik dalam ledakan gelombang kekerasan sosial yang tiba-tiba? Regim kebijakan social baru seperti apa yang dibutuhkan oleh sebuah bangsa dan negara yang sakit seperti Indonesia saat ini untuk dapat melangkah keluar dari kancah konflik sosial secara lebih terarah? Semua kompleksitas pertanyaan di atas tentu tidak bisa dijawab, atau sekedar diwacanakan, dalam satu tarikan nafas. Serangkaian upaya serius dan jeli sangat dibutuhkan. Tetapi, sebelum mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan sulit di atas, ada beberapa pertanyaan dasar sederhana yang harus di jawab terlebih dahulu. Kekerasan sosial apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia? Kapan dan dimana insiden-insiden itu terjadi? Separah apa insiden-insiden tersebut dan bagaiman mengukurnya? Bagaimana dengan distribusi spasialnya? Dan bagaimana kecenderungannya dari waktu ke waktu? Sebagai langkah awal, paper ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana ini.

Krisis dan transisi Indonesia

Indonesia tengah berada dalam suatu transisi yang historis. Transisi Indonesia, setidaknya, terdiri dari tiga perubahan besar. Pertama adalah transisi dari suatu system politik dan pemerintahan yang otokratik menuju suatu sistem yang demokratis. Kedua, adalah transisi dari sistem ekonomi yang bersifat kapitalisme perkoncoan dan patron-klien (patron-client and crony capitalist) menuju suatu sistem ekonomi pasar yang berdasarkan pada suatu aturan permainan yang jelas (rules-based market economy). Dan Ketiga adalah transisi dari sistem sosial politik dan ekonomi yang sentralistik menuju sistem yang terdesentralisasi. Proses transisi itu sedang berjalan, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah transisi itu akan berhasil mencapai keadaan yang diinginkan serta berlangsung mulus. Dan tidak ada pula yang dapat memastikan berapa lama waktu yang akan dibutuhkan untuk mencapi suatu keadaan keseimbangan sosial politik yang baru. Transisi Indonesia yang multidimensi ini akan lebih tepat apabila ditinjau dari kaca mata transisi sistemik (systemic transition). Transisi semacam ini tidak bisa dijelaskan hanya dengan menggunakan catatan sejarah Indonesia terdahulu, karena ia harus dipandang sebagai suatu historic discontinuity. Sehingga gambaran yang lebih jelas akan didapat apabila transisi Indonesia saat ini disejajarkan dengan transisi serupa seperti yang terjadi di bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur (Mishra, 2000 dan 2001).

Transisi berlangsung di tengah krisis ekonomi terhebat yang pernah dialami Indonesia sejak merdeka. Dalam konteks ini, krisis ekonomi berperan sebagai katalisator dan pada saat yang sama berperan pula sebagai pemicu berlangsungnya suatu proses transisi. Krisis ekonomi hanyalah sebuah awal. Ia memicu krisis multidimensi yang merontokkan secara tiba-tiba tatanan yang telah dibangun Orde Baru hampir di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Rontoknya tatanan ekonomi ditandai oleh hancurnya bagun ekonomi kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) dengan bubble economy-nya. Hancurnya tatanan politik dicirikan oleh runtuhnya rezim autokratik, yang diikuti oleh meledaknya partisipasi politik massa, terbentuknya banyak partai politik dan terbukanya debat publik ditengah lemahnya pelembagaan demokrasi. Dan kehancuran tatanan sosial ditandai oleh merebaknya kekerasan sosial, tidak berdayanya hukum dan peraturan (law and order) dan hancurnya tatanan dan ikatan sosial masyarakat (social cohesion).

Kompleksitas dari proses transisi ini menjadi semakin rumit dengan program desentralisasi yang tergesagesa ditengah lemahnya kelembagaan untuk menangani isu-isu yang terkait dengan pembagian wewenang, keuangan, dan anggaran antara pusat dan daerah, dan pembagian sumberdaya antar daerah. Selanjutnya, kombinasi dari krisis dan transisi politik, ekonomi dan sosial, telah menghasilkan suatu keadaan yang tidak menentu (turbulence situation).

Kelihatannya, suatu ledakan kekerasan sosial yang hebat akan sangat potensial terjadi di tengah situasi transisi yang tidak menentu ini, dan bukannya justru meledak di saat-saat yang stabil, dimana ekonomi tumbuh dengan stabil, kesejahteraan membaik dan ketika semuanya serba “teratur.” Situasi yang tidak menentu ini setidaknya telah menyebabkan dua perkembangan baru: (1) mengecilnya kue pembangunan, sementara jumlah orang yang memperebutkannya tidak berkurang, malahan semakin banyak; dan (2) terjadinya suatu distribusi kekuasaan yang hebat (a significant distribution of power).

Kekuasaan di masa Orde Baru yang terpersonalisasi ke seseorang –atas nama Presiden Suharto– selama transisi ini telah terdistribusi ke tangan elit-elit partai politik, organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop), kelompok-kelompok masyarakat, parlemen, pers, masyarakat adat, maupun kepada kelompok-kelompok birokrasi yang terbelah.

Lebih jauh, desentralisasi juga telah meningkatkan tensi konflik antara pusat dan daerah, dan persaingan antar daerah. Sebagai hasil dari perkembangan-perkembanganini, krisis dan transisi telah menyebabkan perubahan posisi relatif secara cepat dari kelompok-kelompok masyarakat (changing relative position among sosial groups) di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Insiden kemiskinan memburuk, baik dari jumlah orang yang berada dibawah garis kemiskinan (head count ratio) maupun tingkat keparahannya (poverty severity). Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan porsi pekerja di sektor informal terhadap total pekerja meningkat tajam.8 Sementara di sisi lain, perubahan konstelasi politik telah menyebabkan banyak orang kehilangan pengaruh dan akses politik, sementara di sisi lain banyak pula muka-muka baru yang tiba-tiba berkuasa. Lebih jauh, orang-orang yang dulu dihormati dan dipuja, sekarang menjadi kelompok yang dikritisi dengan sangat tajam. Pendek kata, semuanya berubah.

Transisi dan kekerasan sosial

Bagaimana kaitan antara transisi dan ledakan kekerasan sosial? Agaknya, kondisi sosial, ekonomi dan politik yang rapuh seperti di uraikan merupakan lahan yang subur untuk meledaknya kekerasan sosial. Ide ini didukung oleh studi-studi berikut.

Snyder (2000) mengingatkan bahwa tahap-tahap awal demokratisasi suatu negara akan sangat rentan terhadap pecahnya konflik komunal.

Selengkapnya, ia menuliskan kesimpulan sebagai berikut:

“The developing countries’ recent experiences with nationalist conflict run parallel to those of the historical European and the contemporary post-communist states. Democratization increases the risk of nationalist and ethnic conflict in the developing world, but the strength and outcome of this propensity varies in different circumstances. Nationalist and ethnic conflicts are more likely during the initial stages of democratizations than in transitions to full consolidations of democracy. More over, trouble is more likely when elites are highly threatened by democratic change (as in Burundi, the former Yugoslavia, and the historical Germany) than when elites are

guaranteed a satisfactory position in the new order (as in historical Britain, and in much of South Africa and East and Central Europe today). Uncontrolled conflict is more likely when mass participation increases before civic institutions have been extensively developed, as the contrast between Burundi and South Africa suggests. Similarly, ethnic conflict is more likely when the civic institutions of the central state break down at a time of rising popular demands, as in India in the late 1980s and 1990s. Finally, ethnic conflict is more likely when the channels of mobilizing mass groups in to politics are ethnically exclusive….”

Sementara Hegre et. al. (2001) menyimpulkan bahwa memuncaknya ledakan kekerasan domestik diasosiasikan sangat erat dengan berlangsungnya suatu perubahan politik.

Dari sebuah studi antar negara yang mencakup 152 negara selama periode 1816-1992 itu, mereka juga menemukan hubungan seperti U terbalik yang menggambarkan kaitan antara antara kekerasan sosial dan tingkat demokrasi. Mereka menarik kesimpulan sebagai berikut: “Semidemocracies are more likely to experience civil war than either democracies or autocracies”.

Tetapi harus diingat bahwa tidak semua transisi disertai kekerasan, karena banyak pula catatan tentang proses transisi demokrasi yang berlangsung dengan damai. Huntington (1991) mengakui bahwa semua perubahan-perubahan politik yang besar hampir selalu melibatkan penggunan kekerasan, tetapi ia juga memberikan contoh dimana transisi berlangsung dengan damai. Cekoslovakia, sebuah Negara satelit Uni Soviet, terbelah menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia tanpa adanya pertumpahan darah. Demikian pula dengan transisi di Polandia, Hongaria dan Jerman Timur.

Mencermati sejarah Indonesia, episode-episode kekerasan sosial kelihatannya selalu terkait dengan perubahan-perubahan sejarah tertentu. Sebagai contoh setelah merdeka, serangkaian pemberontakan daerah pecah di tahun 50-an seiring dengan kegagalan demokrasi konsitusional. Demikian pula dengan ledakan kekerasan social yang hebat di tahun 1965-66 yang menandai pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru. Mengikuti kecenderungan ini, kita bisa mengaitkan gelombang kekerasan sosial sejak tahun 1998 dengan transisi sistemik Indonesia saat ini.

Melemahnya negara

Sebenarnya transisi Indonesia saat ini masih merupakan tahap awal menuju demokrasi. Walaupun sebelumnya di awal tahun 1950-an, Indonesia telah mengalami suatu periode demokrasi parlementer yang ditandai oleh pemilu pertama yang bebas di tahun 1955. Namun Sukarno membunuhnya dengan memperkenalkan Demokrasi Terpimpin di akhir tahun 1950-an. Demokrasi tidak kunjung kembali di bumi Indonesia ketika Suharto tampil sebagai diktator berikutnya di tahun 1966. Indonesia dengan transisi menuju demokrasi saat ini bisa disebut sebagai contoh mutakhir dari negara-negara yang termasuk dalam ‘gelombang ketiga demokratisasi’ (the third wave democratization). Antara tahun 1966-1980 adalah masa dimana Suharto mengkonsolidasikan kekuatannya. Dalam proses itu, sekitar lima ratus sampai enam ratus ribu orang yang dicap sebagai komunis atau anteknya dibunuh dan opisisi politik secara efektif dibungkam. Bagimanapun kecilnya oposisi itu, regime Suharto dengan lihai mengkooptasi mereka dibawah payung konsesus baru yang disebut Pancasila.

Hal ini telah menyempitkan ruang politik dimana pluralitas pendapat dapat berkembang

subur dan civil society dapat berkembang. Berbagai rintangan dan tantangan berhasil dilalui. Peristiwa Malari tahun 1974 tidak sampai melemahkan kekuasaan Suharto; gerakan mahasiswa tahun 1978 dibungkam dengan normalisasi kampus; lawan-lawan politiknya diberangus, dan sistem politik “diatur” sedemikian rupa untuk melanggengkan kekuasannya.

Periode 1980-1990 adalah dimana kekuasaan Suharto mencapai puncaknya, walau diinterupsi oleh peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 ketika Suharto memaksakan asas tunggal Pancasila. Kekuasaan rezim Suharto mulai melemah sejak awal 1990-an ketika dukungan militer mulai berkurangnya. Kemudian, Suharto menarik kelompok-kelompok Islam dalam perpolitikan Indonesia untuk mengantisipasi melemahnya dukungan militer tersebut, khususnya sejak ia merestui berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di awal 1990-an.

Perkembangan lainnya adalah tumbuhnya konglomerat sebagai kroni-kroni yang memperkuat basis dukungan ekonomi regim. Tetapi, aliansi-aliasi politik dan dukungan ekonomi ini tidak mampu menyelamatkan regim ini dari kehancuran ketika krisis ekonomi terjadi di tahun 1997-1998 Suharto terpaksa menyerahkan kekuasaan pada B.J. Habibie yang bertindak sebagai presiden di masa transisi dan sukses menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen.

Di tahun 1999, Abdurrahman Wahid menjadi presiden yang pertama kali dipilih secara demokratis. Akan tetapi, proses melemahnya negara (the weakening of the state) yang sudah dimulai sejak awal 1990, masih terus berlanjut.

Sejak tahun 1998, Indonesia menjadi negara dengan pemerintahan-pemerintahan yang tidak efektif. Ia juga harus menerima kenyataan lepasnya Timor Timur dan menghangatnya gerakan separatis di beberapa propinsi, dan merebaknya konflik sosial.



Kesimpulan

Dari adanya fakta objektif di atas yakni terjadinya serangkaian kekerasan sosial berupa kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat di Indonesia yang dipicu oleh kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan pokok. Hal ini tidak terlepas dari krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia, dan menjadi pemicu timbulnya kekerasan secara massif. Setelah itu, gelombang konflik kekerasan seakan tak pernah berhenti melanda seluruh negeri dengan beragam motif dan faktor pemicu.

Kerusuhan Mei 1998 pecah beberapa hari sebelum kejatuhan Suharto. Timor Timur terpisah dari Indonesia sebagai hasil sebuah referendum yang ditandai oleh kekerasan yang telah menyebabkan ratusan orang terbunuh dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang luar biasa.

Tidak bisa dipungkiri bahwa ledakan konflik dan kekerasan sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari krisis dan transisi Indonesia saat ini.

Berangkat dari fakta tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa kekerasan yang melanda sebagian besar daerah-daerah yang ada di Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari krisis berkepanjangan yang terjadi. Dinamika tersebut merupakan sebuah desakan dari arus bawah (grass root) yang menuntut segera berakhirnya krisis ekonomi yang menekan rakyat serta tuntutan akan adanya perubahan di tubuh pemerintahan yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakat.

Share this article :
 

+ komentar + 1 komentar

12 April 2019 pukul 01.12

bagus kontennya dan bermanfaat. Trims!

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Blogspot Tutorial - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger